Monday, 11 March 2013
sejarah seruling
karinding mengeluarkan bunyi tertentu
Karinding mengeluarkan bunyian tertentu “low decibel” yang bisa merusak konsentrasi hama, sebenarnya alat musik ini tidak hanya ada di masyarakat Sunda atau di Jawa Barat.
Alat musik sejenis karinding ada juga di tempat lain dengan nama yang
berbeda, seperti di Bali bernama gengong, Jawa Tengah dinamainya
Rinding, Kalimantan Karimbi.
Sedangkan di luar negeri, seperti di Negara Yunani dinamai dengan Zuesharp (harpanya dewa Zeus), dan dikalangan masyarakat pemusik modern karinding ini dengan sebutan harpa mulut (mouth harp).
Dari suara yang dihasilkan pun tak jauh berbeda hanya cara memainkannya
sedikit berlainan, ada yang di trim (digetarkan dengan disentir), di tap
(dipukul) dan ada yang dimaikan dengan cara ditarik menggukan benang.
Bagi kebanyakan masyarakat Tatar Sunda, memaikan alat musik karinding ini biasanya dengan cara dipukul.
Karinding alat musik ritmis yang sekarang popular dikalangan kaum muda
Sunda ini,bukan hanya digunakan untuk kepentingan bersawah atau
mengusir.
Para “Karuhun” atau pendahulu, masyarakat Sunda menggunakan dan memainkan karinding ini dalam acara tradisi ritual upacara adat.
Maka tak heran jika alat musik karinding dibeberapa tempat masih digunakan dalam mengiringi upacara adat pembacaan Rajah.
Tidak hanya pengusir hama dan pengiring upacara adat atau ritual saja,
konon karinding ini digunakan oleh para kaum lelaki jaman dahulu untuk
merayu atau memikat hati wanita yang disukai.
Sekelumit cerita balik alat musik Karinding terungkap saat
WisatanewsCom mengunjungi beberapa tempat komunitas karinding dan
komunitas seni di Bandung, Cicalengka, Cimahi, dan Cianjur.
Seperti penuturan Deni Deng salah satu anggota Kawah (kerinding Sawah)
Cipanas, Cianjur yang sedang menekuni dan mendalami pembuatan karinding
bahwa pembuatan karinding di wilayah Jawa Barat ada dua jenis penggunaan
bahan baku.
Dua jenis bahan baku ini adalah dari pelepah “kawung” atau aren
dan batang bambu, bahan dan jenis bentuk karinding berbeda-beda, untuk
menujukan perbedaan usia, tempat dan perbedaan gender si pemakai.
Deni juga mengungkapkan, semisal bahan dari batang bambu yang lebih
menyerupai susuk sanggul,diperuntukan bagi kaum perempuan, karena konon
ibu-ibu dahulu suka menancapkan karinding disanggulnya.
Friday, 8 March 2013
karinding alat tradisional yang mulai mendua
Karinding adalah alat musik
tradisional masyarakat sunda yang terbuat dari pelepah kawung (batang
pohon aren), dan Awi (bambu). Sebuah alat musik yang cukup tua yang
konon sebagai alat yang telah digunakan karuhun (orang tua) sejak jaman
sebelum ditemukannya Kacapi, yang usia kecapi itu sendiri sudah mencapai
lebih dari lima ratus tahun yang lalu. diperkirakan alat ini sudah
lebih tua dari 600 tahun dan ada yang menyebutkan bahwa alat ini sudah
dipergunakan sejak jaman purba dulu sekitar era megalitikum
Karinding
sendiri tidak hanya ada di tatar sunda, malahan di Bali, ada yang
disebut dengan Genggong, Tung kalo di Kalimantan yang pada dasarnya
adalah karinding juga. Dan ternyata karinding bukan hanya terdapat di
jawabarat dan beberapa daerah di Indonesia, akan tetapi di beberapa
Negara lainpun ada, namun dengan nama dan bahan pembuat yang berbeda.
Seperti alat musik juliab dali Tibet atau xomits dari Mongol.
Memainkan karinding
Karinding dimainkan dengan cara ditempelkan di mulut lalu dipukul-pukul ujungnya atau disentir melalui tali. Getaran antara si karinding dan mulut digabung dengan udara dari mulut menghasilkan suara yang gak biasa. “Tweew..tweew...”. kemudian yang lebih uniknya lagi, karinding ini mempunyai suara yang khas. Kalau F ya F, D ya D. Ukuran standar karinding adalah panjang 10 cm dan lebar 2 cm.
Perkembangan karinding
sumber: http://zalgie.blogspot.com/2011/09/karinding-alat-musik-tradisional-yang.html
karinding awi buhun
Awalnya karinding adalah alat yang digunakan oleh para karuhun untuk mengusir hama di sawah bunyinya yang low decible sangat merusak konsentrasi hama. Karena ia mengeluarkan bunyi tertentu maka disebutlah ia sebagai alat musik. Bukan hanya digunakan untuk kepentingan bersawah, para karuhun memainkan karinding ini dalam ritual atau upaca adat. Maka tak heran jika sekarang pun karinding masih digunakan sebagai pengiring pembacaan rajah. Bahkan, konon, karinding ini digunakan oleh para kaum lelaki untuk merayu atau memikat hati wanita yang disukai. Jika keterangan ini benar maka dapat kita duga bahwa karinding, pada saat itu, adalah alat musik yang popular di kalangan anak muda hingga para gadis pun akan memberi nilai lebih pada jejaka yang piawai memainkannya. Mungkin keberadaannya saat ini seperti gitar, piano, dan alat-alat musik modern-popular saat ini.
Beberapa sumber menyatakan bahwa karinding telah ada bahkan sebelum adanya kecapi. Jika kecapi telah berusia sekira lima ratus tahunan maka karinding diperkirakan telah ada sejak enam abad yang lampau. Dan ternyata karinding pun bukan hanya ada di Jawa Barat atau priangan saja, melainkan dimiliki berbagai suku atau daerah di tanah air, bahkan berbagai suku di bangsa lain pun memiliki alat musik ini–hanya berbeda namanya saja. Di Bali bernama genggong, Jawa Tengah menamainya rinding, karimbi di Kalimantan, dan beberapa tempat di “luar” menamainya dengan zuesharp (harpanya dewa Zues). Dan istilah musik modern biasa menyebut karinding ini dengan sebutan harpa mulut (mouth harp). Dari sisi produksi suara pun tak jauh berbeda, hanya cara memainkannya saja yang sedikit berlainan; ada yang di trim (di getarkan dengan di sentir), di tap ( dipukul), dan ada pula yang di tarik dengan menggunakan benang. Sedangkan karinding yang di temui di tataran Sunda dimainkan dengan cara di tap atau dipukul. Material yang digunakan untuk membuat karinding (di wilayah Jawa Barat), ada dua jenis: pelepah kawung dan bambu. Jenis bahan dan jenis disain bentuk karinding ini menunjukan perbedaan usia, tempat, dan sebagai perbedaan gender pemakai. Semisal bahan bambu yang lebih menyerupai susuk sanggul, ini untuk perempuan, karena konon ibu-ibu menyimpannya dengan di tancapkan disanggul. Sedang yang laki-laki menggunakan pelapah kawung dengan ukuran lebih pendek, karena biasa disimpan di tempat mereka menyimpan tembakau. Tetapi juga sebagai perbedaan tempat dimana dibuatnya, seperti di wilayah priangan timur, karinding lebih banyak menggunakan bahan bambu karena bahan ini menjadi bagian dari kehidupannya.
karinding alat tradisional pengusir hama& pemikat wanita
Karinding mengeluarkan bunyian tertentu “low decibel” yang bisa merusak konsentrasi hama, sebenarnya alat musik ini tidak hanya ada di masyarakat Sunda atau di Jawa Barat.Alat musik sejenis karinding ada juga di tempat lain dengan nama yang
berbeda, seperti di Bali bernama gengong JawaTengahdinamainyaRinding, Kalimantan KarimbiSedangkan di luar negeri, seperti di Negara Yunani dinamai dengan Zuesharp (harpanya dewa Zeus), dan dikalangan masyarakat pemusik modern karinding ini dengan sebutan harpa mulut (mouth harp).
Deni juga mengungkapkan, semisal bahan dari batang bambu yang lebih
menyerupai susuk sanggul,diperuntukan bagi kaum perempuan, karena konon
ibu-ibu dahulu suka menancapkan karinding disanggulnya.
Dari suara yang dihasilkan pun tak jauh berbeda hanya cara memainkannya
sedikit berlainan, ada yang di trim (digetarkan dengan disentir), di tap
(dipukul) dan ada yang dimaikan dengan cara ditarik menggukan benang.Bagi kebanyakan masyarakat Tatar Sunda, memaikan alat musik karinding ini biasanyadengan caradipukul.Karinding alat musik ritmis yang sekarang popular dikalangan kaum muda
Sunda ini,bukan hanya digunakan untuk kepentingan bersawah atau
mengusir.
Para “Karuhun” atau pendahulu, masyarakat Sunda menggunakan dan memainkan karinding ini dalam acara tradisi ritual upacara adat. Maka tak heran jika alat musik karinding dibeberapa tempat masih digunakan dalam mengiringi upacara adat pembacaan Rajah.
Tidak hanya pengusir hama dan pengiring upacara adat atau ritual saja,
konon karinding ini digunakan oleh para kaum lelaki jaman dahulu untuk
merayu atau memikat hati wanita yang disukai
Sekelumit cerita balik alat musik Karinding terungkap saat
WisatanewsCom mengunjungi beberapa tempat komunitas karinding dan
komunitas seni di Bandung, Cicalengka, Cimahi, dan Cianjur.
Seperti penuturan Deni Deng salah satu anggota Kawah (kerinding Sawah)
Cipanas, Cianjur yang sedang menekuni dan mendalami pembuatan karinding
bahwa pembuatan karinding di wilayah Jawa Barat ada dua jenis penggunaan
bahan baku.
Dua jenis bahan baku ini adalah dari pelepah “kawung” atau aren
dan batang bambu, bahan dan jenis bentuk karinding berbeda-beda, untuk
menujukan perbedaan usia, tempat dan perbedaan gender si pemakai.
Sedangkan untuk kaum laki-laki menggunakan pelapah aren atau kawung,
dengan ukurannya lebih pendek, biasa menyimpan karinding disatukan
dengan tempat tembakau
sejarah karinding
Karinding adalah waditra karuhun Sunda, terbuat dari pelepah
kawung atau bambu berukuran 20 x 1 cm yang dibuat menjadi tiga bagian,
yaitu bagian jarum tempat keluarnya nada (disebut cecet ucing), bagian untuk digenggam, dan bagian panenggeul (pemukul). Jika bagian panenggeul
dipukul, maka bagian jarum akan bergetar dan ketika dirapatkan ke
rongga mulut, maka akan menghasilkan bunyi yang khas. Bunyi tersebut
bisa diatur tergantung bentuk rongga mulut, kedalaman resonansi, tutup
buka kerongkongan, atau hembusan dan tarikan napas. Tiga bagian ini
merefleksikan juga nilai ,oral dan ajaran yang terkandung dalam
karinding, yaitu yakin, sadar, sabar. Dipegang yang yakin, ditabuh yang sabar, dan jika sudah ada suara harus sadar jika itu bukan suara kita.Secara kebahasaan, karinding berasal dari kata ka dan rinding. Ka berarti sumber dan rinding berarti suara.
Jenis bahan dan jenis disain karinding menunjukan perbedaan usia, tempat, jenis kelamin pemakai. Karinding yang menyerupai susuk sanggul dibuat untuk perempuan, sedang yang laki-laki menggunakan pelapah kawung dengan ukuran lebih pendek, agar bisa disimpan di tempat tembakau. Bahan juga menunjukkan tempat pembuatan karinding. Di Priangan Timur, misalnya, karinding menggunakan bahan bambu. Di kawasan lain di Indonesia, karinding disebut juga rinding (Yogyakarta), genggong (Bali), dunga atau karindang (Kalimantan) atau alat sejenis dengan bahan baja bernama jawharp di kawasan Nepal dan Eropa dan chang di Cina dengan bahan kuningan. Selain ditabuh, karinding juga ada yang dimainkan dengan cara dicolek atau disintir.
Sepertinya karinding mulai muncul antara zaman pertanian dan zaman perundagian. Alat music ini biasa dimainkan orang-orang sambil menunggui sawah atau ladang di hutan atau di bukit-bukit, saling bersahutan antara bukit yang satu dan bukit lainnya. Alat ini bukan cuma menjadi pengusir sepi tapi juga berfungsi mengusir hama. Suara yang dihasilkan oleh karinding ternyata menghasilkan gelombang low decibel yang menyakitkan hama sehingga mereka menjauhi ladang pertanian. Catatan tertua tentang karinding ada di naskah Pendakian Sri Ajnyana yang diperkirakan ditulis abad ke-16. Dalam naskah itu dikisahkan karinding disimpan di palang dada gedung keraton bidadari Puah Aci Kuning di kahyangan. Berikut adalah cuplikan naskahnya
sumber;http://karindingattack.com/id/sejarah
Jenis bahan dan jenis disain karinding menunjukan perbedaan usia, tempat, jenis kelamin pemakai. Karinding yang menyerupai susuk sanggul dibuat untuk perempuan, sedang yang laki-laki menggunakan pelapah kawung dengan ukuran lebih pendek, agar bisa disimpan di tempat tembakau. Bahan juga menunjukkan tempat pembuatan karinding. Di Priangan Timur, misalnya, karinding menggunakan bahan bambu. Di kawasan lain di Indonesia, karinding disebut juga rinding (Yogyakarta), genggong (Bali), dunga atau karindang (Kalimantan) atau alat sejenis dengan bahan baja bernama jawharp di kawasan Nepal dan Eropa dan chang di Cina dengan bahan kuningan. Selain ditabuh, karinding juga ada yang dimainkan dengan cara dicolek atau disintir.
Sepertinya karinding mulai muncul antara zaman pertanian dan zaman perundagian. Alat music ini biasa dimainkan orang-orang sambil menunggui sawah atau ladang di hutan atau di bukit-bukit, saling bersahutan antara bukit yang satu dan bukit lainnya. Alat ini bukan cuma menjadi pengusir sepi tapi juga berfungsi mengusir hama. Suara yang dihasilkan oleh karinding ternyata menghasilkan gelombang low decibel yang menyakitkan hama sehingga mereka menjauhi ladang pertanian. Catatan tertua tentang karinding ada di naskah Pendakian Sri Ajnyana yang diperkirakan ditulis abad ke-16. Dalam naskah itu dikisahkan karinding disimpan di palang dada gedung keraton bidadari Puah Aci Kuning di kahyangan. Berikut adalah cuplikan naskahnya
sumber;http://karindingattack.com/id/sejarah
asal~usul karinding
Beberapa sumber menyatakan bahwa karinding telah ada bahkan sebelum adanya kecapi. Jika kecapi telah berusia sekira lima ratus tahunan maka karinding diperkirakan telah ada sejak enam abad yang lampau. Dan ternyata karinding pun bukan hanya ada di Jawa Barat atau priangan saja, melainkan dimiliki berbagai suku atau daerah di tanah air, bahkan berbagai suku di bangsa lain pun memiliki alat musik ini–hanya berbeda namanya saja. Di Bali bernama genggong, Jawa Tengah menamainya rinding, karimbi di Kalimantan, dan beberapa tempat di “luar” menamainya dengan zuesharp ( harpanya dewa Zues). Dan istilah musik modern biasa menyebut karinding ini dengan sebutan harpa mulut (mouth harp). Dari sisi produksi suara pun tak jauh berbeda, hanya cara memainkannya saja yang sedikit berlainan; ada yang di trim (di getarkan dengan di sentir), di tap ( dipukul), dan ada pula yang di tarik dengan menggunakan benang. Sedangkan karinding yang di temui di tataran Sunda dimainkan dengan cara di tap atau dipukul.
Material yang digunakan untuk membuat karinding (di wilayah Jawa Barat), ada dua jenis: pelepah kawung dan bambu. Jenis bahan dan jenis disain bentuk karinding ini menunjukan perbedaan usia, tempat, dan sebagai perbedaan gender pemakai. Semisal bahan bambu yang lebih menyerupai susuk sanggul, ini untuk perempuan, karena konon ibu-ibu menyimpannya dengan di tancapkan disanggul. Sedang yang laki-laki menggunakan pelapah kawung dengan ukuran lebih pendek, karena biasa disimpan di tempat mereka menyimpan tembakau. Tetapi juga sebagai perbedaan tempat dimana dibuatnya, seperti di wilayah priangan timur, karinding lebih banyak menggunakan bahan bambu karena bahan ini menjadi bagian dari kehidupannya.[1] Karinding umumnya berukuran: panjang 10 cm dan lebar 2 cm. Namun ukuran ini tak berlaku mutlak; tergantung selera dari pengguna dan pembuatnya—karena ukuran ini sedikit banyak akan berpengaruh terhadap bunyi yang diproduksi. Karinding terbagi menjadi tiga ruas: ruas pertama menjadi tempat mengetuk karinding dan menimbulkan getaran di ruas tengah. Di ruas tengah ada bagian bambu yang dipotong hingga bergetar saat karindingdiketuk dengan jari. Dan ruas ke tiga (paling kiri) berfungsi sebagai pegangan.
Cara memainkan karinding cukup sederhana, yaitu dengan menempelkan ruas tengah karinding di depan mulut yang agak terbuka, lalu memukul atau menyentir ujung ruas paling kanan karinding dengan satu jari hingga “jarum” karinding pun bergetar secara intens. Dari getar atau vibra “jarum” itulah dihasilkan suara yang nanti diresonansi oleh mulut. Suara yang dikeluarkan akan tergantung dari rongga mulut, nafas, dan lidah. Secara konvensional—menurut penuturan Abah Olot–nada atau pirigan dalam memainkan karinding ada empat jenis, yaitu: tonggeret, gogondangan, rereogan, dan iring-iringan. piawai memainkannya. Mungkin keberadaannya saat ini seperti gitar, piano, dan alat-alat musik modern-popular saat ini.
Beberapa sumber menyatakan bahwa karinding telah ada bahkan sebelum adanya kecapi. Jika kecapi telah berusia sekira lima ratus tahunan maka karinding diperkirakan telah ada sejak enam abad yang lampau. Dan ternyata karinding pun bukan hanya ada di Jawa Barat atau priangan saja, melainkan dimiliki berbagai suku atau daerah di tanah air, bahkan berbagai suku di bangsa lain pun memiliki alat musik ini–hanya berbeda namanya saja. Di Bali bernama genggong, Jawa Tengah menamainya rinding, karimbi di Kalimantan, dan beberapa tempat di “luar” menamainya dengan zuesharp ( harpanya dewa Zues). Dan istilah musik modern biasa menyebut karinding ini dengan sebutan harpa mulut (mouth harp). Dari sisi produksi suara pun tak jauh berbeda, hanya cara memainkannya saja yang sedikit berlainan; ada yang di trim (di getarkan dengan di sentir), di tap ( dipukul), dan ada pula yang di tarik dengan menggunakan benang. Sedangkan karinding yang di temui di tataran Sunda dimainkan dengan cara di tap atau dipukul.
Material yang digunakan untuk membuat karinding (di wilayah Jawa Barat), ada dua jenis: pelepah kawung dan bambu. Jenis bahan dan jenis disain bentuk karinding ini menunjukan perbedaan usia, tempat, dan sebagai perbedaan gender pemakai. Semisal bahan bambu yang lebih menyerupai susuk sanggul, ini untuk perempuan, karena konon ibu-ibu menyimpannya dengan di tancapkan disanggul. Sedang yang laki-laki menggunakan pelapah kawung dengan ukuran lebih pendek, karena biasa disimpan di tempat mereka menyimpan tembakau. Tetapi juga sebagai perbedaan tempat dimana dibuatnya, seperti di wilayah priangan timur, karinding lebih banyak menggunakan bahan bambu karena bahan ini menjadi bagian dari kehidupannya.[1] Karinding umumnya berukuran: panjang 10 cm dan lebar 2 cm. Namun ukuran ini tak berlaku mutlak; tergantung selera dari pengguna dan pembuatnya—karena ukuran ini sedikit banyak akan berpengaruh terhadap bunyi yang diproduksi. Karinding terbagi menjadi tiga ruas: ruas pertama menjadi tempat mengetuk karinding dan menimbulkan getaran di ruas tengah. Di ruas tengah ada bagian bambu yang dipotong hingga bergetar saat karindingdiketuk dengan jari. Dan ruas ke tiga (paling kiri) berfungsi sebagai pegangan.
Cara memainkan karinding cukup sederhana, yaitu dengan menempelkan ruas tengah karinding di depan mulut yang agak terbuka, lalu memukul atau menyentir ujung ruas paling kanan karinding dengan satu jari hingga “jarum” karinding pun bergetar secara intens. Dari getar atau vibra “jarum” itulah dihasilkan suara yang nanti diresonansi oleh mulut. Suara yang dikeluarkan akan tergantung dari rongga mulut, nafas, dan lidah. Secara konvensional—menurut penuturan Abah Olot–nada atau pirigan dalam memainkan karinding ada empat jenis, yaitu: tonggeret, gogondangan, rereogan, dan iring-iringan.
sumber:http://aldowillysefscc05.blogspot.com/2010/11/asal-mula-nya-karinding.html
Subscribe to:
Posts (Atom)