Friday 8 March 2013

kemajuan karinding

 KEMAJUAN teknologi serta perkembangan zaman di era globalisasi membuat tradisi seringkali tercerabut dari akar kebudayaannya. Alhasil, ia menjadi tersisih dan kemudian terancam punah. Hal ini berlaku di seluruh ranah tradisi, salah satunya adalah alat musik tradisional Sunda, Karinding. Ketika budaya populer masuk dan menyergap ruang gerak anak muda Bandung, maka ruang bagi Karinding untuk semakin dikenali oleh warganya sendiri semakin menyempit.
Modernitas menyebabkan kaum muda Bandung lebih mengenali idiom-idiom atau memakai simbol-simbol berbau barat tanpa memahami apa artinya. Hal ini menyebabkan munculnya kegelisahan bagi sejumlah budayawan serta kaum muda Bandung yang peduli akan kesenian tradisional. Bersama-sama mereka mengembangkan alat musik tradisional Sunda, Karinding, dan mulai mempopulerkannya ke masyarakat muda Bandung.
Karinding mengacu pada wikipedia merupakan sejenis alat musik atau perkusi khas Sunda yang terbuat dari pelepah kawung (batang pohon aren) dan bambu. Menurut buku Karinding Attack terbitan Minor Books, karinding konon merupakan alat musik yang telah digunakan di dataran Sunda terutama Tasikmalaya sejak abad ke 15.
Alat musik ini terbuat dari pelepah kawung atau bambu berukuran 20 x 1 cm yang dibuat menjadi tiga bagian yaitu bagian jarum tempat keluarnya nada (cecet ucing), pembatas jarum, dan bagian ujung panenggeul (pemukul). Jika ujungnya dipikul, maka bagian jarum akan bergetar dan ketika dirapatkan ke rongga mulut, maka akan menghasilkan bunyi khas. Bunyi tersebut bisa diatur tergantung bentuk rongga mulut, kedalaman resonansi, tutup buka kerongkongan, atau hembusan dan tarikan nafas.
“Dahulu Karinding dimainkan di acara yang menyangkut hajat hidup, ritual, silaturahmi juga acara berkaitan dengan alam seperti gerhana bulan, gempa, dan lainnya. Karinding juga biasa dipakai untuk mengusir hama dan pemujaan terhadap roh nenek moyang. Nadanya yang mengandung desibel rendah ternyata ampuh mengusir hama. Namun, meski umumnya dipakai untuk mengusir hama, alat musik ini pada dulunya juga sering digunakan bagi para pria untuk menarik perhatian gadis-gadis, ” jelas Iman Rahman Angga Kusumah atau akrab dipanggil Kimung, salah satu seniman Karinding, ketika ditemui di Bandung.
Ia mengatakan kalau jenis bahan dan desain Karinding menunjukan perbedaan usia, tempat, jenis kelamin pemakai. Karinding menyerupai susuk sanggul dibuat untuk perempuan, sedang yang laki-laki menggunakan pelepah kawung dengan ukuran lebih pendek, agar bisa disimpan di tempat tembakau. Bahan juga menunjukan tempat pembuatan karinding. Di Priangan Timur, misalnya, karinding menggunakan bahan bambu. Sementara penyebutannya juga mengalami variasi seperti misalnya di daerah Yogyakarta Karinding dikenal dengan “Rinding”, di Bali disebut “Genggong”, di Kalimantan disebut “Dunga” atau “Karindang”, di Nepal bernama “Jawharp” dan di China bernama “Chang”.
Menurut Kimung, selain di Tasikmalaya, perkembangan Karinding juga menyebar ke daerah Parakan Muncung dan juga Ujungberung. Di daerah Ujungberung, Karinding digunakan sebagai alat musik pengiring warga belajar silat. Sementara di daerah Parakan Muncung, ada satu sosok yang mempopulerkan alat musik ini, yakni Abah Olot. Abah Olot yang berasal dari Parakan Muncang ini merupakan anak dari Entang Sumarna yang merupakan seorang pembuat dan musisi Karinding di kawasan Manabaya, Cimanggung, Parakan Muncang. Bersama grup Giri Kerenceng, Karinding kemudian menyebar di Cicalengka dan menginspirasi seniman muda untuk turut berpartisipasi mengeksplorasi Karinding serta memperkenalkannya ke publik.

No comments:

Post a Comment