Sunday 24 February 2013

belati


Belati adalah sejenis senjata tajam yang fungsinya untuk menusuk atau menikam. Penggunaannya dapat dengan cara digenggam atau dilemparkan. Ukurannya dapat lebih kecil atau lebih besar daripada pisau. Senjata ini memiliki rentang sejarah yang panjang dan ada banyak jenisnya. Di Indonesia, senjata sejenis belati yang terkenal adalah rencong dan keris.

golok

Keragaman etnis dan budaya menjadi ciri khas dan kekayaan tersendiri bangsa Indonesia, dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Uniknya, setiap etnis di Indonesia memiliki senjata khas yang menjadi simbol kebesaran dari sejumlah etnis tersebut. Etnis Jawa misalnya, memiliki keris sebagai senjata kebesaran mereka, etnis Sunda terkenal dengan kujangnya, etnis Madura terkenal dengan celuritnya, dan etnis Betawi yang masyhur dengan Golok Betoknya yang berumur 800 tahun.

Sebagai sebuah senjata pusaka, keberadaan Golok Betok merupakan fase awal asal muasal senjata dalam sejarah nusantara. Bahkan, sebelum senjata khas Jawa Barat kujang ada, Golok Betok sudah ada konsepnya terlebih dahulu. Namun, karena Kerajaan Padjajaran memohon kepada Sang Empu agar dibuatkan secepatnya sebuah senjata bernama kujang, pembuatan Golok Betok menjadi tertunda.

“Saat ini keberadaan Golok Betok yang dulunya biasa digunakan para jagoan dari Betawi sudah hampir punah,” cerita Aziz Munandar, ahli pengobatan tradisional yang juga salah seorang kolektor benda berharga yang dikutip dari situs Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Di tangannya, senjata pusaka berusia 800 tahun itu terlihat masih terawat dengan baik, dan tidak sembarang orang bisa melihatnya dari dekat. Karena keberadaannya yang mulai langka, Azis menjamin hanya segelintir orang saja yang masih memilikinya. Kalau pun ada di tangan orang awam, bisa jadi Golok Betok itu adalah golok imitasi yang tidak memiliki sejarah panjang sebagaimana Golok Betok miliknya.

Menurut Azis, Golok Betok dibuat lebih awal dari pisau raus, gaman, ataupun keris. Azis meyakinkan jika Golok Betok yang menjadi koleksi miliknya itu adalah asli. Bentuk badan dan mata pisau yang terbuat dari baja hitam dengan gagang gayu hitam atau gading menandakan keaslian senjata pusaka khas Betawi tersebut. “Saya berani bertaruh kalau senjata yang ada ini asli,” katanya.

Tak hanya Golok Betok senjata peninggalan Betawi yang menjadi koleksi pribadi Azis Munandar. Beberapa senjata kuno Betawi yang berumur ratusan tahun pun masih tersimpan rapi dan terawat di kediamannya. Beberapa senjata khas Betawi miliknya adalah kujang Betawi yang juga berusia 800 tahun, pisau raus berusia 500 tahun, dan pedang cengkrong yang berusia 600 tahun berbentuk melengkung pada bagian punggungnya.

Pedang ini merupakan satu-satunya pedang yang tersisa. Hal tersebut telah dibuktikannya setelah Azis berkali-kali menghadiri pameran senjata Betawi. Tak ada senjata jenis pedang cengkrong. Jika pun ada dipastikan itu pedang buatan atau imitasi.

Azis menyebutkan saat ini koleksi senjata pusaka khas Betawi tinggal berjumlah 5 buah. Sementara koleksi senjata nusantara yang dimilikinya berjumlah lebih dari 200 buah, mulai dari pedang hingga keris. Dirinya juga mengklaim beberapa benda pusaka koleksinya merupakan milik tokoh sejarah ternama antara lain pisau Pangeran Jayakarta dan keris peninggalan Aru Palaka

Friday 22 February 2013

panceg




Kalian pasti sering ngeliat sekumpulan anak muda yang berkepala botak plontos, berjalan memakai sepatu boots dan berjaket dengan beberapa tempelan emblem. Mereka kerap dikenal dengan sebutan Skinheads. Apa sih sebenernya Skinhead itu? Fashion sajakah? Atau benar-benar gaya hidup? Mau tau penjelasannya mending kita simak penelusuran saya kali ini.

Awalnya, saya sempet mikir kalo Skinhead tuh berasal dari negeri Jerman. Kayaknya Skinhead nih influence pemikiran rasis yang dibentuk dalam gaya hidup dan tren anak muda pada zaman Hitler.

Apalagi setelah nonton film American History yang menceritakan kehidupan kaum Skinhead di Amerika sana. Dalam film tersebut seolah diceritakan bahwa Skinhead adalah sekelompok anak muda yang sangat membenci bangsa kulit hitam. Sekelompok anak muda yang digambarkan dengan kelakuan brutal, bengis, dan berbagai penyiksaan yang dilakukan terhadap bangsa kulit hitam.

Weitt, ternyata simpulan awal saya salah total! Hampir saja saya mengubah perkembangan sejarah murni Skinhead. Skinhead yang saya anggap rasis tersebut ternyata bukan asli budaya Skinhead. Skinhead yang rasis tersebut hanya sekumpulan anak muda yang dimanfaatkan oleh sekumpulan pihak dan kepentingan tertentu.

Selidik punya selidik ternyata Skinhead merupakan subbudaya anak muda yang lahir di Inggris pada tahun 1960-an. budaya tersebut berasal dari perpaduan kehidupan pemuda Jamaika (rude boy) dan kaum Moods. Alhasil, karena mereka senang berkumpul dalam tempat nongkrong yang sama. "Dengan kebiasan nakal pemuda saat itu serta kesukaan yang sama terhadap musik ska dan musik berirama two tones. Akhirnya lahirlah musik Oi! Dan komunitas Skinhead," ucap Iyay, gitaris Sanfranskins.

Namun sejak mulai bermunculan kaum imigran di Inggris, seperti bangsa Pakistan, Cina, dan imigran Asia lainnya. Beberapa kaum Skinhead di Inggris memusuhi kaum imigran tersebut. Mungkin bila dilihat dalam film "Romper Stomper " pemicu kebencian kaum skinhead adalah karena para Imigran tersebut dianggap telah merebut lahan pekerjaan yang ada di Inggris.

Memasuki tahun 1960 akhir, sebenarnya konflik kaum Skinhead dengan para imigran tersebut masih dikatakan taraf biasa. Komunitas Skinhead tidak tergabung dalam gerakan politik rasial apa pun. Namun, ketika memasuki tahun 1970-an beberapa kaum Skinhead yang memusuhi kaum imigran tersebut mulai memasuki pergerakan nasionalis ekstrem, seperti National Front, British Movement, Rock Against Communism, dan Blood and Honour. Dalam image seperti inilah kemudian budaya kaum Skinhead mulai terkikis menjadi pergerakan politik berpakaian Skinhead.

Ups, jadi teringat percakapan saya bersama Iyay. Cukup panjang lebar juga Iyay bercerita mengenai perkembangan komunitas skinhead di Bandung sendiri, bahkan sampai masalah persoalan tali sepatu boots yang dianggap simbol rasis dalam Skinhead. "Skinhead itu sebenarnya bukan gerakan Neo-Nazi atau gerakan politik apa pun. Adapun pencitraan rasis. Itu hanya pemanfaatan penyebaran isme dalam pencinta musik Oi! Dan Skinhead," Ucap Iyay

Cukup menarik juga bukan? Ayo kita kembali menelisik sejarah Skinhead! Setelah cukup lama skinhead dicitrakan sebagai pergerakan politik rasis, akhirnya kira-kira pada tahun 1988 di Kota New York Marcus Pacheco beserta teman-temannya mendeklarasikan Skinhead Against Rasial Prajudice (S.H.A.R.P.) hal tersebut mewakili kaum Skinhead yang sudah mulai muak dengan rasisme dan pergerakan politik ekstrem dalam komunitas Skinhead. Kemudian pada tahun 1989 Roddy Moreno, personil The Oppressed berkunjung dan bertemu dengan anggota S.H.A.R.P., sepulangnya kembali ke Inggris. Ia mulai menyebarkan S.H.A.R.P. kepada komunitas Skinhead di Inggris.

Yah, seperti itulah perkembangan Skinhead yang mulai dikenal dengan kaum neo-nazi, akhirnya terselamatkan dengan asosiasi S.H.A.R.P. Sedikit cerita mengenai perkembangan Skinhead di Kota bandung sendiri. Perkembangan budaya tersebut menurut Juki, gitaris Renternir, menyebar tanpa terorganisasi secara sengaja dalam kehidupan anak muda saat ini. Pengetahuan anak muda Bandung sendiri mengenai Skinhead berawal dari media online (internet), yang kemudian mengalir dari pembicaraan mulut ke mulut dan menjadi salah satu perkumpulan subculture musik underground di Kota Bandung.

keris


Keris adalah sejenis senjata tikam khas,yang bermata dua,dan seringkali bentuknya tidak simetris alias berliku-liku dan banyak di antaranya memiliki pamor (damascene), yaitu guratan-guratan ukiran logam cerah pada helai bilah dari Indonesia tercinta. Berdasarkan dokumen-dokumen purbakala, keris dalam bentuk awal telah digunakan sejak abad ke-9. Kuat kemungkinannya bahwa keris telah digunakan sebelum masa tersebut.
Sebenarnya,Penggunaan keris sendiri tersebar di masyarakat rumpun Melayu. Pada masa sekarang, keris umum dikenal di daerah Indonesia (terutama di daerah Jawa, Madura, Bali/Lombok, Sumatra, sebagian Kalimantan, serta sebagian Sulawesi), Malaysia, Brunei, Thailand, dan Filipina (khususnya di daerah Mindanao) dan Keris di setiap daerah memiliki kekhasan sendiri-sendiri dalam penampilan, fungsi, teknik garapan, serta peristilahan.Di Mindanao, bentuk senjata yang juga disebut keris tidak banyak memiliki kemiripan meskipun juga merupakan senjata tikam.
Asal-usul keris belum sepenuhnya terjelaskan karena tidak ada sumber tertulis yang deskriptif mengenainya dari masa sebelum abad ke-15, meskipun penyebutan istilah "keris" telah tercantum pada prasasti dari abad ke-9 Masehi. Kajian ilmiah perkembangan bentuk keris kebanyakan didasarkan pada analisis figur di relief candi atau patung. Sementara itu, pengetahuan mengenai fungsi keris dapat dilacak dari beberapa prasasti dan laporan-laporan penjelajah asing ke Nusantara.
Awal mulanya adalah Pengaruh dari India-Tiongkok.Dugaan pengaruh kebudayaan Tiongkok Kuna dalam penggunaan senjata tikam, sebagai cikal-bakal keris,Senjata tajam dengan bentuk yang diduga menjadi sumber inspirasi pembuatan keris dapat ditemukan pada peninggalan-peninggalan perundagian dari Kebudayaan Dongson dan Tiongkok selatan. Sejumlah keris masa kini untuk keperluan sesajian memiliki gagang berbentuk manusia (tidak distilir seperti keris modern), sama dengan belati Dongson, dan menyatu dengan bilahnya.
Sikap menghormati berbagai benda-benda garapan logam dapat ditelusuri sebagai pengaruh India, khususnya Siwaisme. Prasasti Dakuwu (abad ke-6) menunjukkan ikonografi India yang menampilkan "wesi aji" seperti trisula, kudhi, arit, dan keris sombro. Para sejarawan umumnya bersepakat, keris dari periode pra-Singasari dikenal sebagai "keris Buda", yang berbentuk pendek dan tidak berluk (lurus), dan dianggap sebagai bentuk awal (prototipe) keris. Beberapa belati temuan dari kebudayaan Dongson memiliki kemiripan dengan keris Buda dan keris sajen.

kujang bermata sembilan

Kujang bermata 9 hanya untuk pegangan para Raja. Mata 7 untuk para Mantri dangka/Prabu Anom dan para Pandita. Mata 5 untuk para Girang Seurat, Bupati Pamingkis dan Bupati Pakuan.
Mata 3 untuk para Guru Tangtu Agama dan Mata 1 untuk Pangwereg Agama. Pusaka Kujang terbagi empat (4) yaitu Kujang Pusaka (lambang keagungan dan perlindungan keselamatan), Kujang Pakarang (untuk berperang), Kujang Pangarak (untuk alat upacara), dan Kujang Pamangkas (untuk alat berladang).
Sedang berdasar bentuk bilah ada yang disebut Kujang Jago (bentuk ayam jago), Kujang Ciung (burung Ciung), Kujang Kuntul (burung Kuntul/bango), Kujang Badak (Badak), Kujang Naga (bentuk Naga) dan Kujang Bangkong (bentuk Katak).
Sehingga dalam menerima pesanan Kujang untuk pusaka, Abah Wahyu Affandi Suradinata tidak sembarangan memberikan Kujang yang dipesan. Akan tetapi dilihat melalui nama dan hari lahir serta silsilah orang tersebut. Dan melalui olah Tapa Samadhi untuk menentukan mana jenis Kujang yang cocok untuk orang tersebut. Kecuali bila Kujang dimaksudkan hanya untuk sekedar hadiah Cindera Mata maupun Souveniryang bersifat karya seni, maka tidak perlu melalui rangkaian tersebut.
Menurut orang tua ada yang memberikan falsafah luhur terhadap Kujang sebagai ” Ku-Jang-Ji Rek nerusken padamelan sepuh karuhun urang (Janji untuk meneruskan perjuangan Sepuh karuhun urang/nenek moyang) “Yaitu menegakkan cara ciri manusia yaitu welas asih (cinta kasih), Tata Krama (etika perilaku), Undak Usuk (etika berbahasa), Budi Daya Budi Basa, Wiwaha Yuda na Raga (Ngaji Badan), serta menegakkan cara ciri bangsa yaitu Rupa, Basa, Adat, Aksara dan Budaya.

kujang

Kujang dikenal sebagai benda tradisional masyarakat Jawa Barat (Sunda) yang memiliki nilai sakral serta mempunyai kekuatan magis. Beberapa peneliti[siapa?] menyatakan bahwa istilah "kujang" berasal dari kata kudihyang (kudi dan Hyang. Kujang (juga) berasal dari kata Ujang, yang berarti manusia atau manusa. Manusia yang sakti sebagaimana Prabu Siliwangi.
Kudi diambil dari bahasa Sunda Kuno yang artinya senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala, misalnya untuk menghalau musuh atau menghindari bahaya/penyakit[rujukan?]. Senjata ini juga disimpan sebagai pusaka, yang digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur (Hazeu, 1904 : 405-406). Sementara itu, Hyang dapat disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam beberapa mitologi, namun bagi masyarakat Sunda Hyang mempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa, hal ini tercermin di dalam ajaran “Dasa Prebakti” yang tercermin dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”.
Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa (=Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda). Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta pemerintahan. Disamping itu, Kujang pun dipakai pula sebagai sebuah nama dari berbagai organisasi, kesatuan dan tentunya dipakai pula oleh Pemda Propinsi Jawa Barat.
Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi.
"Segala macam hasil tempaan, ada tiga macam yang berbeda. Senjata sang prabu ialah: pedang, abet (pecut), pamuk, golok, peso teundeut, keris. Raksasa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk membunuh. Senjata orang tani ialah: kujang, baliung, patik, kored, pisau sadap. Detya yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengambil apa yang dapat dikecap dan diminum. Senjata sang pendeta ialah: kala katri, peso raut, peso dongdang, pangot, pakisi. Danawa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengerat segala sesuatu, Itulah ketiga jenis senjata yang berbeda pada sang prebu, pada petani, pada pendeta. Demikianlah bila kita ingin tahu semuanya, tanyalah pandai besi."
Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat Sunda, Kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral. Wujud baru kujang tersebut seperti yang kita kenal saat ini diperkirakan lahir antara abad 9 sampai abad 12.

kendang kempul

Kendang Kempul Di Jawa Timur berkembang pula musik etnic yang hampir mirip dengan campursari, yakni musik kendang kempul yang berkembang di Banyuwangi dan sekitarnya. Musik ini hampir berbarengan munculnya dengan campursari. Namun alat musik yang digunakan hanya Kendang, Kempul dan suling yang digabungkan dengan gitar dan keyboard serta seringkali juga biola. Musik kendang kempul ini selain berkembang di Banyuwangi, juga merambah ke daerah sekitarnya. Sebut saja Jember, Bondowoso, Situbondo, Probolinggo dan sekitarnya. Tak jarang lagu-lagu kendang kempul dinyanyikan ulang dengan versi dangdut oleh Orkes Palapa dan Monata. Nama-nama penyanyi kendang kempul yang terkenal antara lain Sumiati, Alif S, Pelawak Cahyono, Emilia Contessa. Dari generasi yang lebih muda muncul nama Niken Arisandi, Catur ARum, Dyan Ratih, Renny Farida, Adestya Mayasari dan masih banyak lagi. Pada perkembangannya musik ini juga tercampur dengan dangdut versi koplo. Masuknya unsur koplo ini juga menimbulkan pertentangan di antara pegiat seni kendang kempul. Banyak pencipta lagu yang tidak mau lagunya dinyanyikan dengan versi Kendang kempul Koplo, meski dengan royalti yang besar. Selain itu pada perkembangannya, selain unsur dangdut koplo. Kendang kempul juga mulai mencoba dikolaborasikan dengan beberapa musik yang terkenal sebut saja musik reaggea dan beberapa musik lainnya. Bahkan penyanyi sekaliber Nini Karlina dan Ikke Nurjannah pun pernah menggubah lagu Banyuwangi untuk album dangdut mereka. Kesamaan dari kedua musik yang berkembang di jawa itu sama-sama kental bercerita tentang masalah hidup wong cilik, masalah cinta, masalah menikmati hidup dan juga nasehat yang sering disisipkan dalam syair lagunya.

Friday 15 February 2013

saron

Saron (atau disebut juga ricik) adalah salah satu instrumen gamelan yang termasuk keluarga balungan. Dalam satu set gamelan biasanya punya 4 saron, dan kesemuanya memiliki versi pelog dan slendro. Saron menghasilkan nada satu oktaf lebih tinggi daripada demung, dengan ukuran fisik yang lebih kecil. Tabuh saron biasanya terbuat dari kayu, dengan bentuk seperti palu. Dari kiri-kanan; saron panerus, saron barung, dan demung, dari STSI Surakarta Cara menabuhnya ada yang biasa sesuai nada, nada yang imbal, atau menabuh bergantian antara saron 1 dan saron 2. Cepat lambatnya dan keras lemahnya penabuhan tergantung pada komando dari kendang dan jenis gendhingnya. Pada gendhing Gangsaran yang menggambarkan kondisi peperangan misalnya, ricik ditabuh dengan keras dan cepat. Pada gendhing Gati yang bernuansa militer, ricik ditabuh lambat namun keras. Ketika mengiringi lagu ditabuh pelan. Saron Tabuh Saron Dalam memainkan saron, tangan kanan memukul wilahan / lembaran logam dengan tabuh, lalu tangan kiri memencet wilahan yang dipukul sebelumnya untuk menghilangkan dengungan yang tersisa dari pemukulan nada sebelumnya. Teknik ini disebut memathet (kata dasar: pathet = pencet)

Gambang keromong

Gambang kromong (atau ditulis gambang keromong) adalah sejenis orkes yang memadukan gamelan dengan alat-alat musik Tionghoa, seperti sukong, tehyan, dan kongahyan [1]. Sebutan gambang kromong diambil dari nama dua buah alat perkusi, yaitu gambang dan kromong. Awal mula terbentuknya orkes gambang kromong tidak lepas dari seorang pemimpin komunitas Tionghoa yang diangkat Belanda (kapitan Cina) bernama Nie Hoe Kong (masa jabatan 1736-1740)[2]. Bilahan gambang yang berjumlah 18 buah, biasa terbuat dari kayu suangking, huru batu, manggarawan atau kayu jenis lain yang empuk bunyinya bila dipukul. Kromong biasanya dibuat dari perunggu atau besi, berjumlah 10 buah (sepuluh pencon). Tangga nada yang digunakan dalam gambang kromong adalah tangga nada pentatonik Cina[1], yang sering disebut salendro Cina atau salendro mandalungan. Instrumen pada gambang kromong terdiri atas gambang, kromong, gong, gendang, suling, kecrek, dan sukong, tehyan, atau kongahyan sebagai pembawa melodi. Orkes gambang kromong merupakan perpaduan yang serasi antara unsur-unsur pribumi dengan unsur Tionghoa. Secara fisik unsur Tionghoa tampak pada alat-alat musik gesek yaitu sukong, tehyan, dan kongahyan. Perpaduan kedua unsur kebudayaan tersebut tampak pula pada perbendaharaan lagu-lagunya. Di samping lagu-lagu yang menunjukkan sifat pribumi, seperti lagu-lagu Dalem (Klasik) berjudul: Centeh Manis Berdiri, Mas Nona, Gula Ganting, Semar Gunem, Gula Ganting, Tanjung Burung, Kula Nun Salah, dan Mawar Tumpah dan sebagainya, dan lagu-lagu Sayur (Pop) berjudul: Jali-jali, Stambul, Centeh Manis, Surilang, Persi, Balo-balo, Akang Haji, Renggong Buyut, Jepret Payung, Kramat Karem, Onde-onde, Gelatik Ngunguk, Lenggang Kangkung, Sirih Kuning dan sebagainya, terdapat pula lagu-lagu yang jelas bercorak Tionghoa, baik nama lagu, alur melodi maupun liriknya, seperti Kong Ji Liok, Sip Pat Mo, Poa Si Li Tan, Peh Pan Tau, Cit No Sha, Ma Cun Tay, Cu Te Pan, Cay Cu Teng, Cay Cu Siu dan sebagainya. Lagu-lagu yang dibawakan pada musik gambang kromong adalah lagu-lagu yang isinya bersifat humor, penuh gembira, dan kadangkala bersifat ejekan atau sindiran[1]. Pembawaan lagunya dinyanyikan secara bergilir antara laki-laki dan perempuan sebagai lawannya[1]. Gambang kromong merupakan musik Betawi yang paling merata penyebarannya di wilayah budaya Betawi, baik di wilayah DKI Jakarta sendiri maupun di daerah sekitarnya (Jabotabek). Jika terdapat lebih banyak penduduk peranakan Tionghoa dalam masyarakat Betawi setempat, terdapat lebih banyak pula grup-grup orkes gambang kromong. Di Jakarta Utara dan Jakarta Barat, misalnya, terdapat lebih banyak jumlah grup gambang kromong dibandingkan dengan di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur[3]. Dewasa ini juga terdapat istilah "gambang kromong kombinasi"[4]. Gambang kromong kombinasi adalah orkes gambang kromong yang alat-alatnya ditambah atau dikombinasikan dengan alat-alat musik Barat modern seperti gitar melodis, bas, gitar, organ, saksofon, drum dan sebagainya, yang mengakibatkan terjadinya perubahan dari laras pentatonik menjadi diatonik tanpa terasa mengganggu[5]. Hal tersebut tidak mengurangi kekhasan suara gambang kromong sendiri, dan lagu-lagu yang dimainkan berlangsung secara wajar dan tidak dipaksakan[5].

kesenian goong

Goong renteng adalah salah satu jenis kesenian tradisional di Kabupaten Kuningan yang memiliki keunikan tersendiri karena Goong renteng ini manakala sudah dibunyikan mempunyai arti tesendiri. Dan hanya dibunyikan pada saat-saat menyambut “tamu agung” atau tamu kehormatan yang memasuki lapangan upacara. Dalam perkembangannya sekarang ini, Goong renteng sewaktu-waktu tampil memeriahkan acara karnaval atau pawai alegoris pada peringatan hari besar nasional, acara hajatan, pesta dan keramaian lainnya sekaligus mengiringi kepergian tamu yang meninggalkan tempat acara. Khususnya dalam acara satonan, Goong renteng sangat diperlukan. Instrumen Goong Renteng biasanya menyajikan lagu-lagu tradisi, seperti lagu Kebojiro/Papalayon sebagai penghormatan kepada tamu yang akan datang dan pada saat pulang, di susl kemudian lagu pangkur Bale Bandung Besar, Bale Bandung Kecil, Sisisr Ganda, Malang Totog, Sampyong, Tunggul Kawung, Randa Nunut, Rindik Subang, Panglima dan lagu ciptaan sekarang yang bisa disesuaikan. Dalam upaya melestarikan kesenian Goong Renteng dan berdasarkan adat turun temurun, sebelum bulan Mulud, Goong Renteng itu harus “mandi” artinya dicuci agar tetap bersih, lalu diadakan selamatan sambil menabuhnya. Tradisi lainnya yang biasa dipakai yaitu setiap tanggal 1 Syawal dan 10 Rayagung harus dibunyikan. Sedangkan larangan “karuhun” yang harus dijaga oleh keturunannya yakni tidak boleh menjual Gamelan Goong Renteng itu kepada siapapun. Hasilnya hingga saat ini Gamelan Goong Renteng masih tetap utuh meskipun keadaannya sudah kurang memadai. Menurut keterangan, Gamelan Kuno yang kini di kenal dengan ” Goong Renteng” teryata usianya sudah 2 abad atau 200 tahun. Pemilik gamelan ini adalah Abah Raksajaya penduduk Kelurahan Sukamulya Kecamatan Cigugur.Gamelan ini dibelinya pada tahun 1792 dari Buyut Anjun Pangeran Pagongan di Cirebon. Gamelannya terbuat dari bahan perunggu terdiri dari 34 buah goong kecil, 2 buah goong besar dilengkapi gambang dan dua buah kecrek perunggu. Gamelan itu sampai sekarang sempat dipegang oleh lima turunan yakni, Abah Raksajaya, kemudian turun kepada putranya Bangsajaya, terus kepada kakek Markis Raksajaya, kemudian kepada Jayaperwata dan kepada Raksapura. Gamelan kuno ini sejak dulu disebut goong renteng, sebab ada perbedaan dengan pemasangan gamelan yang biasa, yaitu pemasangan rancaknya harus “direntengkan”, itulah sebabnya gamelan kuno yang satu ini disebut goong renteg.

cara memainkan gendang

Cara memainkan gendang dengan dipukul, baik dengan tangan saja atau dengan alat pemukul gendang. Gendang mempunyai banyak fungsi, di antaranya sebagai pengiring tarian atau pencak silat, pembawa tempo atau penegasan dinamik sebuah orkes, atau sering juga hanya sebagai pelengkap untuk lebih meramaikan suasana.

cara pembuatan gendang

Pembuatan gendang sebenarnya tidaklah sulit, hanyalah dengan melubangi bagian kayu menggunakan peralatan tradisional sehingga membentuk dan menghiasi gendang. Cara tersebut cukup menguras tenaga karena harus menghaluskan bahan baku agar suaranya bisa bagus. Pilih pohon dengan lingkaran kayu yang besar kemudian di potong 30/35-45cm Kayu dilubangi dengan pahat hingga tipis Pada bagian muka tempat menempel kulit dibuat agak tipis kira-kira setebal ibu jari Pada bagian belakan dibuat agak tebal dan diberi lingkaran setebal sentengah jari atau 2 jari

Yang pertamakali menemukan kendang

Bagaimana kisah lahirnya kendang/drum? Manusia di peradaban awal memiliki kebiasaan memukul-mukul benda sekitarnya untuk mengekspresikan kegembiraan, misalnya saat berhasil menangkap binatang buruan. Dalam ekskavasi di berbagai wilayah di dunia ditemukan kendang/drum tertua dari masa neolitikum. Misalnya, yang di Moravia diduga dari tahun 6000 SM. Bentuknya amat sederhana berupa sepotong batang kayu berongga yang ujungnya ditutup kulit reptil atau ikan. Alat itu dibunyikan dengan cara ditepuk. Pada masa peradaban berikutnya, muncul kendang/drum kayu dengan kulit binatang. Stik pukul pun mulai dipakai. Ini ditunjukkan oleh artefak dari Mesir kuno (4000 SM). Tahun 3000 SM dikenal frame drum raksasa di kalangan bangsa Sumeria kuno dan Mesopotamia. Selanjutnya, drum “menggelinding” ke Afrika dan Yunani sekitar tahun 2000 SM. Drum serupa jam pasir tampak pada relief Bharhut, relief candi India tertua, dari abad 2 SM. Pada masa bersamaan drum muncul di Romawi. Bahakan Romawilah yang pertama kali menggunakan drum sebagai pengobar semangat pasukan perang. Tahun 600-an Persia mengenal genderang pendek dari tanah liat. Lalu genderang itu mulai dibuat dari logam, terkadang kayu. Genderang itu pun menyebar ke Eropa, Afrika, dan Asia. Karena dibuat dari tembaga dan berbentuk ketel sup, namanya pun jadi kettle drum atau timpani. Abad XIII timpani menunjukkan peran penting dalam musik Eropa. Karena bunyi gemuruhnya bak geledek, sekitar dua abad kemudian bangsa Inggris juga memanfaatkan timpani di bidang ketentaraan. Gunanya sebagai penanda waktu, aba-aba serangan, dan membuat musuh grogi. Saat menjelajah dunia tahun 1500 bangsa Eropa membawa drum ke Amerika. Maka, cara pakai bangsa Inggris pun menyebar. Tak ayal tahun 1800-an pasukan militer di berbagai negara mulai mempelajari dan menggunakan drum dalam pasukan. Malah ada terobosan baru berupa parade musik pasukan drum band tahun 1813 di Rusia. Itulah salah satu tonggak munculnya drum band. Keinginan memperkaya musik drum sudah ada sejak 1550. Namun, baru tahun 1935 para pencinta musik di AS mewujudkannya. Drum pun tak lagi muncul tunggal. Seperangkat drum biasanya terdiri atas genderang bas, genderang senar, genderang tenor, dan simbal. Malah tahun 1970-an muncul drum listrik, yang kualitas bunyinya tak beda dengan gendang, timpani, atau drum akustik. Jenis instrumen membranofon lainnya adalah ‘bedug‘ dan ‘trebang‘. Istilah ‘bedug‘ dijumpai pada kitab yang lebih muda yakni Kidung Malat. Dalam Kakawin Hariwangsa, Ghatotkacasraya, dan Kidung Harsawijaya instrumen sejenis disebut dengan istilah “tipakan”. Selain itu ada istilah ‘tabang-tabang‘ dalam kitab Ghatotkacasraya dan kitab Sumanasantaka yang kemungkinan berkembang menjadi istilah ‘tribang‘. Jika data ini benar, berarti yang sebut “trebang” maupun “bedhug” bukanlah instrumen musik yang muncul setelah masuknya kebudayaan Islam, melainkan telah ada sejak abad ke-12 M (Zoetmulder, 1983:317-395). Jika dilihat dari ukurannya, kendang di bagi menjadi beberapa jenis yaitu : 1. Kendang berukuran kecil, jenis ini disebut sebagai “ketipung”. 2. Kendang berukuran sedang, disebut sebagai kendang “ciblon” atau “kebar”. 3. Kendang berukuran besar, kendang jenis ini merupakan pasangan ketipung, yang dinamakan kendang gedhe, atau biasa disebut sebagai “kendang kalih”. Kendang ini biasanya dimainkan pada lagu atau gendhing yang berkarakter halus seperti : ketawang, gendhing kethuk kalih, dan ladrang irama dadi. Bisa juga dimainkan cepat pada pembukaan lagu jenis lancaran, ladrang irama tanggung. 4. Khusus untuk wayangan ada satu lagi kendhang yang khas yaitu kendhang kosek. Kendang, dimainkan hanya dengan menggunakan tangan, tanpa alat bantu lainnya. Ditangan para pemain gamelan professional yang sudah cukup lama menyelami budaya jawa, kendang adalah alat musik yang dimainkan dengan menggunakan naluri. Oleh sebab itu, selalu ada perbedaan nuansa, bunyi, tergantung kepada orang yang memainkannya.

sejarah gendang

Kendang, kendhang, atau gendang adalah salah satu alat musik dalam gamelan jawa yang berfungsi mengatur irama dan termasuk dalam kelompok “membranofon” yaitu alat musik yang sumber bunyinya berasal dari selaput kulit atau bahan lainnya. Menurut bukti sejarah, kelompok membranofon telah populer di Jawa sejak pertengahan abad ke-9 Masehi dengan nama: padahi, pataha (padaha), murawaatau muraba, mrdangga, mrdala, muraja, panawa, kahala, damaru, kendang. Istilah ‘padahi’ tertua dapat dijumpai pada prasasti Kuburan Candi yang berangka tahun 821 Masehi (Goris, 1930). Seperti yang tertulis pada kitab Nagarakrtagama gubahan Mpu Prapanca tahun 1365 Masehi (Pigeaud, 1960), istilah tersebut terus digunakan sampai dengan jaman Majapahit. Penyebutan kendang dengan berbagai nama menunjukkan adanya berbagai macam bentuk, ukuran serta bahan yang digunakan, antara lain : kendang berukuran kecil, yang pada arca dilukiskan sedang dipegang oleh dewa , kendang ini disebut “damaru“. Bukti keberadaaan dan keanekaragaman kendang, dapat dilihat pada relief candi-candi sebagai berikut : • Candi Borobudur (awal abad ke-9 Masehi), dilukiskan bermacam- macam bentuk kendang seperti bentuk : silindris langsing, bentuk tong asimetris, bentuk kerucut (Haryono, 1985; 1986). • Candi Siwa di Prambanan (pertengahan abad ke-9 Masehi), pada pagar langkan candi, kendang ditempatkan di bawah perut dengan menggunakan semacam tali. • Candi Tegawangi, candi masa klasik muda (periode Jawa Timur), sekitar abad 14), dijumpai relief seseorang membawa kendang bentuk silindris dengan tali yang dikalungkan pada kedua bahu. • Candi Panataran, candi masa klasik muda (periode Jawa Timur), sekitar abad 14, relief kendang digambarkan hanya menggunakan selaput satu sisi dan ditabuh dengan menggunakan pemukul berujung bulat. Jaap Kunst (1968:35-36) menyebut instrumen musik ini ‘dogdog‘, Ada hal yang menarik mengenai asal muasal kendang ini, yaitu adanyakesamaan penyebutan dari sumber tertulis Jawa Kuno dengan sumber tertulis di India. Hal ini membuktikan bahwa telah terjadi kontak budaya antara keduanya, termasuk dalam dalam bidang seni pertunjukan. Namun, tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa kendang Jawa adalah pengaruh kendang India. Karena instrumen musik jenis membranofon ini diperkirakan telah ada sebelum adanya kontak budaya dengan India, yang digunakan pada acara-acara ritual. Pada jaman kebudayaan logam prasejarah di Indonesia (kebudayaan perunggu) telah dikenal adanya “moko” dan “nekara”. Nekara pada zamannya berfungsi sebagai semacam genderang.

Perkembangan calung

Perkembangan Jenis calung yang sekarang berkembang dan dikenal secara umum yaitu calung jinjing. Calung jinjing adalah jenis alat musik yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Sunda, misalnya pada masyarakat Sunda di daerah Sindang Heula - Brebes, Jawa tengah, dan bisa jadi merupakan pengembangan dari bentuk calung rantay. Namun di Jawa Barat, bentuk kesenian ini dirintis popularitasnya ketika para mahasiswa Universitas Padjadjaran (UNPAD) yang tergabung dalam Departemen Kesenian Dewan Mahasiswa (Lembaga kesenian UNPAD) mengembangkan bentuk calung ini melalui kreativitasnya pada tahun 1961. Menurut salah seorang perintisnya, Ekik Barkah, bahwa pengkemasan calung jinjing dengan pertunjukannya diilhami oleh bentuk permainan pada pertunjukan reog yang memadukan unsur tabuh, gerak dan lagu dipadukan. Kemudian pada tahun 1963 bentuk permainan dan tabuh calung lebih dikembangkan lagi oleh kawan-kawan dari Studiklub Teater Bandung (STB; Koswara Sumaamijaya dkk), dan antara tahun 1964 - 1965 calung lebih dimasyarakatkan lagi oleh kawan-kawan di UNPAD sebagai seni pertunjukan yang bersifat hiburan dan informasi (penyuluhan (Oman Suparman, Ia Ruchiyat, Eppi K., Enip Sukanda, Edi, Zahir, dan kawan-kawan), dan grup calung SMAN 4 Bandung (Abdurohman dkk). Selanjutnya bermunculan grup-grup calung di masyarakat Bandung, misalnya Layung Sari, Ria Buana, dan Glamor (1970) dan lain-lain, hingga dewasa ini bermunculan nama-nama idola pemain calung antara lain Tajudin Nirwan, Odo, Uko Hendarto, Adang Cengos, dan Hendarso. Perkembangan kesenian calung begitu pesat di Jawa Barat, hingga ada penambahan beberapa alat musik dalam calung, misalnya kosrek, kacapi, piul (biola) dan bahkan ada yang melengkapi dengan keyboard dan gitar. Unsur vokal menjadi sangat dominan, sehingga banyak bermunculan vokalis calung terkenal, seperti Adang Cengos, dan Hendarso.

macam-macam calung

Calung Rantay Calung rantay bilah tabungnya dideretkan dengan tali kulit waru (lulub) dari yang terbesar sampai yang terkecil, jumlahnya 7 wilahan (7 ruas bambu) atau lebih. Komposisi alatnya ada yang satu deretan dan ada juga yang dua deretan (calung indung dan calung anak/calung rincik). Cara memainkan calung rantay dipukul dengan dua tangan sambil duduk bersilah, biasanya calung tersebut diikat di pohon atau bilik rumah (calung rantay Banjaran-Bandung), ada juga yang dibuat ancak "dudukan" khusus dari bambu/kayu, misalnya calung tarawangsa di Cibalong dan Cipatujah, Tasikmalaya, calung rantay di Banjaran dan Kanekes/Baduy. Calung Jinjing Adapun calung jinjing berbentuk deretan bambu bernada yang disatukan dengan sebilah kecil bambu (paniir). Calung jinjing terdiri atas empat atau lima buah, seperti calung kingking (terdiri dari 12 tabung bambu), calung panepas (5 /3 dan 2 tabung bambu), calung jongjrong(5 /3 dan 2 tabung bambu), dan calung gonggong (2 tabung bambu). Kelengkapan calung dalam perkembangannya dewasa ini ada yang hanya menggunakan calung kingking satu buah, panempas dua buah dan calung gonggong satu buah, tanpa menggunakan calung jongjrong Cara memainkannya dipukul dengan tangan kanan memakai pemukul, dan tangan kiri menjinjing/memegang alat musik tersebut. Sedangkan teknik menabuhnya antar lain dimelodi, dikeleter, dikemprang, dikempyung, diraeh, dirincik, dirangkep (diracek), salancar, kotrek dan solorok.

sejarah calung

Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe (purwarupa) dari angklung. Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalah dengan memukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih). Pengertian calung selain sebagai alat musik juga melekat dengan sebutan seni pertunjukan. Ada dua bentuk calung Sunda yang dikenal, yakni calung rantay dan calung jinjing.

Cara memainkan karinding

Karinding disimpan di bibir, terus tepuk bagian pemukulnya biar tercipta resonansi suara. Karindng biasanya dimainkan secara solo atau grup (2 sampai 5 orang). Seroang diantaranya disebut pengatur nada anu pengatur ritem. Di daerah Ciawi, dulunya karinding dimainkan bersamaan takokak (alat musik bentuknya mirip daun). Secara konvensional menurut penuturan Abah Olot nada atau pirigan dalam memainkan karinding ada 4 jenis, yaitu: tonggeret, gogondangan, rereogan, dan iring-iringan..

Fungsi karinding

Karinding yaitu alat buat mengusir hama di sawah. Suara yang dihasilkan dari getaran jarum karinding biasanya bersuara rendah low decible. Suaranya dihasilkan dari gesekan pegangan karinding dan ujung jari yang ditepuk-tepakkan. Suara yang keluar biasanya terdengar seperti suara wereng, belalang, jangkrik, burung, dan lain-lain. Yang jaman sekarang dikenal dengan istilah ultrasonik. Biar betah di sawah, cara membunyikannya menggunakan mulut sehingga resonansina menjadi musik. Sekarang karinding biasa digabungkan dengan alat musik lainnya. Bedanya membunyikan karinding dengan alat musik jenis mouth harp lainnya yaitu pada tepukan. Kalau yang lain itu disentil. Kalau cara ditepuk dapat mengandung nada yang berbeda-beda. Ketukan dari alat musik karinding disebutnya Rahel, yaitu untuk membedakan siapa yang lebih dulu menepuk dan selanjutnya. Yang pertama menggunakan rahèl kesatu, yang kedua menggunakan rahel kedua, dan seterusnya. Biasanya suara yang dihasilkan oleh karinding menghasilkan berbagai macam suara, diantaranya suara kendang, goong, saron bonang atau bass, rhytm, melodi dan lain-lain. Bahkan karinding bisa membuat lagu sendiri, sebab cara menepuknya beda dengan suara pada mulut yang bisa divariasikan bisa memudahkan kita dalam menghasilkan suara yang warna-warni. Kata orang tua dahulu, dulu menyanyikan lagu bisa pakai karinding, Kalau kita sudah mahir mainkan suara karinding, pasti akan menemukan atau menghasilkan suara buat berbicara, tetapi suara yang keluar seperti suara robotik.

Sejarah alat musik bonang

Sejarah alat musik bonang – Bonang adalah alat musik yang digunakan dalam gamelan Jawa. bonang juga merupakan instrumen melodi terkemuka di Degung Gamelan Sunda. Ini adalah koleksi gong kecil (kadang-kadang disebut “ceret” atau “pot”) ditempatkan secara horizontal ke string dalam bingkai kayu (rancak), baik satu atau dua baris lebar. Semua ceret memiliki bos pusat, tetapi di sekelilingnya yang bernada rendah memiliki kepala datar, sedangkan yang lebih tinggi memiliki melengkung satu. Masing-masing sesuai untuk lapangan tertentu dalam skala yang sesuai; sehingga ada yang berbeda untuk bonang pelog dan slendro. Mereka biasanya dipukul dengan tongkat berlapis (tabuh). Hal ini mirip dengan gong memeluk lain di gamelan itu, kethuk, kempyang, dan kenong. Bonang dapat dibuat dari perunggu dipalsukan, dilas dan dingin-dipalu besi, atau kombinasi dari logam. Selain bentuk gong-berbentuk ceret, bonang ekonomis terbuat dari besi dipalu atau kuningan pelat dengan mengangkat bos sering ditemukan di desa gamelan, dalam gamelan Suriname-gaya, dan di beberapa gamelan Amerika. Bonang ini mirip dengan reong Bali. Dalam gamelan Jawa Tengah ada tiga jenis bonang yang digunakan: Panerus Bonang adalah yang tertinggi dari mereka, dan menggunakan ketel terkecil. Pada umumnya mencakup dua oktaf (kadang-kadang lebih dalam slendro pada instrumen Solo-gaya), seluas sekitar kisaran yang sama dengan saron dan peking gabungan. Ia memainkan irama tercepat bonang itu, saling layu dengan atau bermain di dua kali kecepatan dari bonang barung. Barung Bonang adalah bernada satu oktaf di bawah bonang panerus, dan juga secara umum mencakup dua oktaf, kira-kira kelas yang sama dengan demung dan saron gabungan. Ini adalah salah satu instrumen yang paling penting dalam ansambel tersebut, karena banyak memberikan isyarat untuk pemain lain dalam gamelan. Sejarah alat musik bonang Panembung Bonang adalah nada terendah. Hal ini lebih sering terjadi pada gamelan gaya Yogyakarta, seluas sekitar kisaran yang sama dengan slenthem dan demung gabungan. Ketika hadir dalam gamelan Solo-gaya, mungkin hanya memiliki satu baris dari enam (slendro) atau tujuh ceret terdengar dalam daftar yang sama seperti slenthem tersebut. Hal ini dicadangkan untuk repertoire yang paling keras, biasanya memainkan balungan lain dari itu. Bagian yang dimainkan oleh bonang barung dan bonang panerus lebih kompleks dibandingkan dengan banyak instrumen gamelan, sehingga, secara umum dianggap sebagai instrumen mengelaborasi. Kadang-kadang memainkan melodi berdasarkan balungan, meskipun umumnya diubah dengan cara yang sederhana. Namun, juga bisa memainkan pola yang lebih kompleks, yang diperoleh dengan menggabungkan patters barung dan panerus, seperti saling silih bergantinya bagian (imbal) dan interpolasi pola melodi jerau (Sekaran). Penoon-penoon bonang ditata berjajar dalam dua baris. Baris di atas disebut Jaleran atau Brunjung, sedangkan yang bawah disebut setren atau dhempok. Demikian artikel mengenai sejarah alat musik bonang. semoga bermanfaat

Sejarah Gamelan

Gamelan adalah himpunan alat muzik yang biasanya menonjolkan metalofon, gambang, gendang, dan gong. Orkes gamelan kebanyakan terdapat di pulau Jawa, Madura, Bali, dan Lombok di Indonesia dalam pelbagai jenis ukuran dan bentuk ensembel. Di Bali dan Lombok hari ini, dan di Jawa lewat abad ke-18, istilah gong lebih dianggap sinonim dengan gamelan. Perkataan "gamelan" berasal daripada perkataan Jawa "gamel", bermaksud memukul ataupun tukul. Gamelan diperkenalkan ke Pahang ketika pemerintahan Sultan Ahmad Muadzam Shah. Tengku Ampuan iaitu Wan Fatimah telah meningkatkan muzik gamelan dan diikuti oleh isteri kedua Sultan iaitu Che Bedah. Puteri mereka iaitu Tengku Ampuan Mariam telah berkahwin dengan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah pada 1913, dan telah membawa gamelan ke Terengganu. Pada tahun 1914,apabila Sultan Ahmad Mangkat, isterinya Cik Zubedah telah berangkat ke Terengganu untuk tinggal bersama puterinya, Tengku Ampuan Mariam di istana. Tengku Ampuan Mariam amat meminati gamelan dan dengan itu pada 1915, set gamelan di bawah jagaanya di Pahang telah dibawa ke Istana Maziah Terengganu. dan melatih pemuda-pemudi Terengganu untuk bermain/menari gamelan.Pada 1920, selepas kemahkotaan Sultan Sulaiman, usaha dipergiatkan dengan membawa bekas penari Pahang, Yang Khoja dan Cik Meriam untuk melatih penari Terengganu dan dinaungi oleh Tengku Ampuan Mariam sendiri. Demikian pula, En, Wan Mohd, En.Wan Ahmad & En.Ahin, bekas pemain muzik Pahang bersama melatih kumpulan Trg yang dikelolakan oleh Sultan Sulaiman. Sehingga 1936, Sultan dan permaisuri berjaya memiliki set sendiri.Berbagai-bagai lagu dan tarian dicipta termasuk lambang sari, geliung, ketam renjong,togok,gagak seteru, lancang kuning dan sebagainya.Tengku Ampuan Mariam telah menulis sebuah manuskrip mengenai tarian sementara Sultan Sulaiman telah bertanggungjawab menukarkan nama "Joget Pahang" kepada "Joget Gamelan Terengganu". Bagaimanapun gamelan Terengganu mengalami kejatuhan pada zaman penaklukan Jepun,1941 dan kemangkatan Sultan Sulaiman,1942. Tengku Mariam berpindah ke Istana Kolam dengan membawa set gamelan bersama 2 orang bekas penarinya, Cik Adnan Abd. Set gamelan telah dikembalikan ke Pahang , 1973 setelah berlakunya tawar-menawar yang tidak menyenangkan antara kerajaan Pahang dan kerajaan Terengganu. Set Gamelan tersebut telah dianugerahkan kepada Muzium Pahang di Pekan dan dipamerkan.

Karinding adalah alat musik imut

Sekarang cerita aja, yuk, apa itu Karinding. Karinding adalah alat musik imut yang dimainkan dengan cara ditempelkan di mulut lalu dipukul-pukul ujungnya atau disentir melalui tali. Getaran antara si karinding dan mulut digabung dengan udara dari mulut menghasilkan suara yang gak biasa. “Tweew..tweew...”, begitulah. Ukuran standar karinding adalah panjang 10 cm dan lebar 2 cm. Karinding di Indonesia umumnya terbuat dari bambu meski di beberapa tempat terbuat dari pelepah enau/aren/kawung dan logam. Sekarang Karinding dapat disebut sebagai alat musik karena dia menghasilkan bunyi. Kerennya lagi, Karinding itu lebih dari sekedar bunyi. Pertama, ada Karinding Lanang (Jantan) dan Karinding Wadon (betina). Yang Lanang menghasilkan suara yang lebih tinggi dan nyaring sedangkan karinding Wadon sebaliknya. Penggunaannya gak cuma untuk menghibur, tapi juga dimainkan dalam upacara adat. Karinding tradisional hanya dapat menghasilkan nada yang sama. Karenanya diatas panggung, Karinding akan lebih terdengar ajaib dan unik bila digabungkan dengan alat musik lainnya, apakah itu gitar, Suling, Kecapi, dan gamelan.

Sihir Karinding bawa ke CiWalk

Pameran Kaos Mahanagari di Galeri Rumah Teh medio tahun 2007 adalah awal perkenalan Mahanagari dengan benda bernama Karinding. Waktu itu Mahanagari dan orang-orang yang datang ke pameran berkesempatan untuk menyaksikan konser ‘mini’ dari seorang local genius, Dodong Kodir. Kami menyapanya kang Odong. Saya, dengan jidat mengkerut dan wajah keanehan, kurang bisa menikmati sajian musik yang dimainkan kang Odong karena bunyinya terdengar baru. “musik yang aneh”, pikir saya dalah hati. Tapi keren. Beliau bereksperimen dengan alat musik ‘ciptaannya’ sendiri. Ada pipa bekas, tempat pakan ayam, tali sepatu, per, dan berbagai perkakas bekas lainnya. Dia menyebut musiknya sebagai musik sampah. Terkecuali satu alat musik yang bentuknya imut dan dimainkan dengan menempelkannya ke mulut. “Namanya apa kang Odong?”, tanya saya tentang alat musik yang ngegantung di lehernya itu. “Karinding”, jawab si akang. Di lain kesempatan, Mahanagari bertemu dengan seorang budayawan yang sudah lama menekuni dunia Karinding secara utuh, Kang Yoyo dan Opa Felix, senior tour guide eksentrik yang mengkampanyekan Indonesia lewat konsep Kampung Tournya. Kalo Kang Odong dan karindingnya punya gaya yang lebih kontemporer, Kang Yoyo & Opa, cenderung memaknai Karinding secara tradisi. “Demi mempertahankan keorisinalitasnya”, terang Opa. Mahanagari, Kang Yoyo & Opa pernah mengisi acara tentang Karinding di kampus STBA pada Februari 2008. Sihir Karinding kami bawa ke CiWalk. Mahanagari memboyong Kang Dodong dan Pak Asep Nata, musisi sekaligus dosen musik di STSI Bandung, untuk mempresentasikan Karinding di depan orang-orang yang seliweran keluar masuk atau nongkrong di mall tersebut. Begitu si mungil karinding nempel di mulut kedua jagoan musik itu, siapa yang sangka alunan jazz hingga blues bisa keluar dari Karinding sumber;http://www.mahanagari.com/index.php?option=com_content&view=article&id=164:karinding-ditempel-dipukul-atau-disentir&catid

Saturday 9 February 2013

Angklung

Anak-anak Jawa Barat bermain angklung di awal abad ke-20.

Tidak ada petunjuk sejak kapan angklung digunakan, tetapi diduga bentuk primitifnya telah digunakan dalam kultur Neolitikum yang berkembang di Nusantara sampai awal penanggalan modern, sehingga angklung merupakan bagian dari relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan Nusantara.

Catatan mengenai angklung baru muncul merujuk pada masa Kerajaan Sunda (abad ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip). Masyarakat Baduy, yang dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung sebagai bagian dari ritual mengawali penanaman padi. Permainan angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.

Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah bambu hitam (awi wulung) dan bambu putih (awi temen). Tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk bilah (wilahan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.

Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.[rujukan?]

Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung. Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.

Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.

Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena —tokoh angklung yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda— mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai komunitas.

Jenis Angklung

Angklung Kanekes

Angklung di daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka orang Baduy) digunakan terutama karena hubungannya dengan ritus padi, bukan semata-mata untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Menabuh angklung ketika menanam padi ada yang hanya dibunyikan bebas (dikurulungkeun), terutama di Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero), dan ada yang dengan ritmis tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy Luar). Meski demikian, masih bisa ditampilkan di luar ritus padi tetapi tetap mempunyai aturan, misalnya hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare (mengobati padi), sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu, selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan, dan boleh dimainkan lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup angklung dilaksanakan dengan acara yang disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun (menitipkan, menyimpan) angklung setelah dipakai.

Dalam sajian hiburan, Angklung biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak hujan. Mereka memainkan angklung di buruan (halaman luas di pedesaan) sambil menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain: Lutung Kasarung, Yandu Bibi, Yandu Sala, Ceuk Arileu, Oray-orayan, Dengdang, Yari Gandang, Oyong-oyong Bangkong, Badan Kula, Kokoloyoran, Ayun-ayunan, Pileuleuyan, Gandrung Manggu, Rujak Gadung, Mulung Muncang, Giler, Ngaranggeong, Aceukna, Marengo, Salak Sadapur, Rangda Ngendong, Celementre, Keupat Reundang, Papacangan, dan Culadi Dengdang. Para penabuh angklung sebanyak delapan orang dan tiga penabuh bedug ukuran kecil membuat posisi berdiri sambil berjalan dalam formasi lingkaran. Sementara itu yang lainnya ada yang ngalage (menari) dengan gerakan tertentu yang telah baku tetapi sederhana. Semuanya dilakukan hanya oleh laki-laki. Hal ini berbeda dengan masyarakat Daduy Dalam, mereka dibatasi oleh adat dengan berbagai aturan pamali (pantangan; tabu), tidak boleh melakukan hal-hal kesenangan duniawi yang berlebihan. Kesenian semata-mata dilakukan untuk keperluan ritual.

Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah: indung, ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel. Roel yang terdiri dari 2 buah angklung dipegang oleh seorang. Nama-nama bedug dari yang terpanjang adalah: bedug, talingtit, dan ketuk. Penggunaan instrumen bedug terdapat perbedaan, yaitu di kampung-kampung Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak 3 buah. Di Kajeroan; kampung Cikeusik, hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa ketuk. Di Kajeroan, kampung Cibeo, hanya menggunakan bedug, tanpa talingtit dan ketuk.

Di Kanekes yang berhak membuat angklung adalah orang Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero). Kajeroan terdiri dari 3 kampung, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Di ketiga kampung ini tidak semua orang bisa membuatnya, hanya yang punya keturunan dan berhak saja yang mengerjakannya di samping adanya syarat-syarat ritual. Pembuat angklung di Cikeusik yang terkenal adalah Ayah Amir (59), dan di Cikartawana Ayah Tarnah. Orang Kaluaran membeli dari orang Kajeroan di tiga kampung tersebut.

Angklung Dogdog Lojor

Kesenian dogdog lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan jakarta, Bogor, dan Lebak). Meski kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah satu instrumen di dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung karena kaitannya dengan acara ritual padi. Setahun sekali, setelah panen seluruh masyarakat mengadakan acara Serah Taun atau Seren Taun di pusat kampung adat. Pusat kampung adat sebagai tempat kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai petunjuk gaib.

Tradisi penghormatan padi pada masyarakat ini masih dilaksanakan karena mereka termasuk masyarakat yang masih memegang teguh adat lama. Secara tradisi mereka mengaku sebagai keturunan para pejabat dan prajurit keraton Pajajaran dalam baresan Pangawinan (prajurit bertombak). Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan agak terbuka akan pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan kesenangan duniawi bisa dinikmatinya. Sikap ini berpengaruh pula dalam dalam hal fungsi kesenian yang sejak sekitar tahun 1970-an, dogdog lojor telah mengalami perkembangan, yaitu digunakan untuk memeriahkan khitanan anak, perkawinan, dan acara kemeriahan lainnya. Instrumen yang digunakan dalam kesenian dogdog lojor adalah 2 buah dogdog lojor dan 4 buah angklung besar. Keempat buah angklung ini mempunyai nama, yang terbesar dinamakan gonggong, kemudian panembal, kingking, dan inclok. Tiap instrumen dimainkan oleh seorang, sehingga semuanya berjumlah enam orang.

Lagu-lagu dogdog lojor di antaranya Bale Agung, Samping Hideung, Oleng-oleng Papanganten, Si Tunggul Kawung, Adulilang, dan Adu-aduan. Lagu-lagu ini berupa vokal dengan ritmis dogdog dan angklung cenderung tetap.

Angklung Gubrag

Angklung gubrag terdapat di kampung Cipining, kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung).

Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa kampung Cipining mengalami musim paceklik.

Angklung Badeng

Badeng merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal dengan angklung sebagai alat musiknya yang utama. Badeng terdapat di Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut. Dulu berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah Islam. Tetapi diduga badeng telah digunakan masyarakat sejak lama dari masa sebelum Islam untuk acara-acara yang berhubungan dengan ritual penanaman padi. Sebagai seni untuk dakwah badeng dipercaya berkembang sejak Islam menyebar di daerah ini sekitar abad ke-16 atau 17. Pada masa itu penduduk Sanding, Arpaen dan Nursaen, belajar agama Islam ke kerajaan Demak. Setelah pulang dari Demak mereka berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu sarana penyebaran Islam yang digunakannya adalah dengan kesenian badeng.

Angklung yang digunakan sebanyak sembilan buah, yaitu 2 angklung roel, 1 angklung kecer, 4 angklung indung dan angklung bapa, 2 angklung anak; 2 buah dogdog, 2 buah terbang atau gembyung, serta 1 kecrek. Teksnya menggunakan bahasa Sunda yang bercampur dengan bahasa Arab. Dalam perkembangannya sekarang digunakan pula bahasa Indonesia. Isi teks memuat nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik, serta menurut keperluan acara. Dalam pertunjukannya selain menyajikan lagu-lagu, disajikan pula atraksi kesaktian, seperti mengiris tubuh dengan senjata tajam.

Lagu-lagu badeng: Lailahaileloh, Ya’ti, Kasreng, Yautike, Lilimbungan, Solaloh.

sejarah suling bambu

Suling bambu seperti yang sering kita lihat dipakai orang untuk mengiringi Dewi Persik kala menyanyi dangdut sembari goyang2 itu bisa kita golongkan sebagai alat musik tiup model jadul alias “primitif”. Ya, suling bambu model begitu, dengan 6 lubang pengatur nada itu sudah dikenal orang sejak jaman baheula…

Namun lain dangdut lain pula musik keroncong. Suling yang dipakai oleh kedua jenis aliran musik itu berbeda. Kalau dangdut, sulingnya suling bambu, maka keroncong menggunakan suling alias flute moderen berbahan metal. Moderen dalam arti tombol2 pengatur nadanya sudah sangat lengkap, sehingga dengan satu alat itu saja segala tangga nada bisa dilayani, tidak perlu gonta ganti suling setiap kali nada dasar berganti. Tidak perlu repot gitu loh…

Untuk sampai pada moderennya itu, flute harus melalui perjalanan panjang. Berangkat dari model semacam suling bambu, dengan 6 lubang nada, kemudian beberapa orang menambahkan dan melengkapi lagi dengan lubang ini dan lubang itu.

Tahun 1670 seseorang menambahkan flute dengan satu kunci nada, sehingga jumlah kunci nada menjadi 7 buah.

Tahun 1722 Quantz menambahkan lagi satu kunci nada, yakni kunci nada C#.

Tahun 1726 ditambahkan lagi oleh Quantz kunci nada yang lain, yaitu nada D#.

Tahun 1760 kunci nada G# dan B-flat, ditambahkan oleh Florio, Gedney, serta Potter,

pembuat flute dari London.

Tahun 1782, J.H. Ribock menambahkan kunci C.

Tahun 1800, tombol kunci B-flat ditemukan.

Tahun 1810, George Miller dari London, mulai membuat flute dari bahan metal. (Sebelumnya flute terbuat dari kayu).

Perkembangan flute tidak berhenti sampai di situ, tapi masih terus berkembang hingga sampai pada apa yang disebut era Boehm.

Dan flute dengan Boehm System itu kemudian menginspirasi terciptanya Saxophone.

sumber:http://tokosun.blogspot.com/2012/03/sejarah-suling-bambu.html

Sejarah Karinding

Karinding lekat dengan petani Sunda. Alat musik tradisional yang dikategorikan sebagai permainan rakyat ini, menurut legenda sekitar, sudah ada di tanah Pasundan sejak 300 tahun lalu. Alat musik ini beruntung masih bisa ditemukan di Kampung Citamiang, Desa Pasirmukti, Kecamatan Cineam, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.

Sekarang, satu-satunya seniman Karinding yang tersisa adalah Oyon Eno Raharjo. Hingga sekarang hanya Oyon saja yang bisa memainkan Karinding dengan baik. Secara turun temurun ilmu permainan Karinding didapatnya dari mendiang Mbah Kaman era 1930-an. Estafet berlanjut ke Murniah di era 1945. Setelah itu diturunkan pada Oyon pada 1954. Tahun 1966, Oyon mulai membuat grup dan merekrut pemain.

Di masa itu ada empat orang pemain Karinding, yaitu Ki Karna, Sugandi, Solihin, dan Dudung. Tak cukup dengan grup, Oyon lalu mendirikan Sanggar Sekar Komara Sunda agar seni tradisional ini tetap lestari. Sanggar sempat terhenti karena sebagian pemain meninggal dunia. Mulai tahun 2003, usaha menggeliatkan kesenian Karinding dimulai lagi. Inilah fase kedua kebangkitan Karinding. Kini sudah ada tujuh orang yang berminat menjadi penerus Oyon.

Karinding di Kampung Citamiang terbuat dari kawung saeran (pohon aren-red). “Bahannya diambil dari kawung yang sudah tua dan setengah kering, humareupan,karena bahan yang kering sulit dibentuk,” jelas Oyon. Kawung saeran berbeda dengan pohon kawung biasa. Pohonnya pendek-pendek dan jarang diambil niranya. Pembuatan Karinding cukup sulit. Tidak semua orang bisa. Dari lima Karinding yang dibuat dalam satu hari paling bisa didapatkan satu Karinding yang cocok dimainkan.

“Cara buatnya lumayan lama.Enaunya dikeringkan dulu lalu dibelah, kulit luarnya jangan dibuang sampai tebal 5 cm ke dalam daging enau. Keringkan dulu, bisa sampai 2 minggu, “ papar Sule, aktivis budaya Sunda.

Karinding tidak bisa dibuat dengan kawung basah, karena saat kering kawung akan cekung dan tidak berbunyi. “Alat yang digunakan yaitu, peso raut, bedog, peso leutik yang tajam untuk membuat buntut lisa,” tambah Oyon. Rentang antara bagian pahul dan buntut sejarak dua jari orang dewasa (jari telunjuk dan jari tengah) dan untuk buntut lisa cukup seukuran jari telunjuk saja. Proses pembuatan yang rumit menyebabkan alat musik ini semakin jarang ditemui.

Menurut Sule, pembina Sanggar Awi Hideng, pembuat karinding terakhir adalah almarhum Ki Karna. Ki Karna tutup usia tahun 2005, tepat setelah festival musik tradisional di Bandung. Dua tahun setelah Ki Karna meninggal, belum ditemukan lagi orang yang bisa membuat karinding.

Setelah ditelusuri ke desa asal berkembangnya Karinding, Desa Cikondang, Kecamatan Cineam, ternyata masih ada yang bisa membuat Karinding. ”Namanya Mamad, umurnya sekitar 35 tahun. dia lahir di Cikondang. Kakeknya masih menyimpan Karinding,” tandas Sule coba mengingat-ingat.

Dahulu di Cikondang ada semacam keyakinan, Karinding adalah alat individual yang digunakan sebagai alat komunikasi antar remaja. Dari sana diketahui, bahwa orang dari Cikondang bisa memainkan Karinding. Di Cikondang, main karinding ibarat loncat batu di Nias, kalau sudah bisa main karinding berarti dia sudah dewasa dan boleh menikah.

Gianjar, peneliti karinding dari Komunitas Kabumi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), memaparkan sebenarnya Karinding ada dimana mana. Bahannya ada yang dari kawung dan bambu. ” Kalau yang dari bambu biasanya khas dari Garut, nah kalau yang dari kawung ini yang khas Cineam. Ada juga yang mengatakan lagi kalau yang kawung ini untuk cowok, dan yang bambu untuk cewek,” tambah pria yang juga perajin pisau ini.